Monday, December 15, 2008

PEDASNYA NASI di "NASI HOT"

Tempat ini menarik mata ketika saya dalam perjalanan ke Pantai Jerman Kuta setelah dari makam Mads Lange. Adanya di kiri jalan raya Tuban, dari Joger ke arah bandara. Hal yang menarik mata saya adalah tulisan merah menyala di papan namanya dan kata HOT itu sendiri. Penikmat makanan pedas seperti saya gampang ngiler lihat kata-kata hot, apalagi cewek hot. :D

Sebenarnya aneka menu yang disajikan tidak terlalu berbeda. Namun karena semua disajikan dengan nuansa pedas, maka resto ini tetap unik untuk dicoba.

Ada dua pilihan cara bersantap di sini. Pengunjung bisa langsung mengambil menu sendiri alias prasmanan atau kalau tak mau repot bisa juga dengan pilih paket-paket yang ada. Paket yang ditawarkan murah meriah, mulai dari Rp 7000 sampai Rp 15.000 yang paling mahal. Paket ini menyediakan aneka menu antara lain opor ayam, udang goreng, daging sapi krawu, hati goreng, dan seterusnya.

Untuk makan siang itu saya pilih menu moderat, tak terlalu murah juga tak terlalu mahal. Paket Rp 12.000 saja. Isinya tempe sambal, opor ayam, krawu sapi, kentang hati, mie goreng, dan sayur buncis oseng (goreng setengah matang). Pas di lidah, ah, rasanya tak seenak yang kubayangkan. Agak datar. Mie gorengnya apalagi, merusak rasa. Tapi pedasnya memang boleh dicoba.

Selain menu nasi campur ini juga ada menu ringan lain seperti mie, bakso, dan semacamnya. Sekali lagi, semuanya disajikan dalam cita rasa pedas. Besok-besok kalau ke sana lagi, aku mau coba menu lain saja, bukan nasi campur seperti sekarang.

Nasi Hot
Jl Raya Kuta 77X
Kuta Bali
Telp 0361 – 8037575, 7420651
Website www.nasihot.com


***Oleh Anton Muhajir***

Kawasan Heritage Jalan Gajah mada, Denpasar, Bali.

Walau Jalan Gajah Mada Denpasar kumuh dan semrawut, gagasan mewujudkannya sebagai kawasan heritage (warisan alam/budaya?) jalan terus. Buktinya, awal Desember 2008, di ujung Barat Jalan Gajah Mada dipasang tanda yang bertuliskan ‘Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar’.

Tanda yang mirip dengan prasasti berukuran besar itu dipasang di pojok utara dan selatan ujung Barat jalan. Prasasti ini bisa terlihat jelas oleh masyarakat yang memasuki kota dari arah Barat (Jl Wahidin) dan Utara (Jl Sutomo) dan yang datang dari arah Selatan (Jl Thamrin). Sinar lampu disorotkan ke arah tanda itu sehingga terang terbaca malam hari.

Tanda serupa mungkin adakan dipasang di ujung timur Jalan Gajah Mada, sekitar Catur Muka.

Pertanyaan kemudian: kekhasan apakah yang ditawarkan kawasan Gajah Mada sehingga pantas disebut sebagai ‘heritage’? Apakah kawasan Gajah Mada dianggap warisan budaya? Warisan alam?

Pesona apakah yang diharapkan memikat hati masyarakat atau turis di kawasan tersebut? Adakah di kawasan itu sesuatu yang dibanggakan? Cukupkah hanya dengan memasang prasasti yang bertuliskan ‘kawasan heritage’?

Di kawasan Jl Gajah Mada memang ada Pura Desa dan dua pasar yaitu Kumbasari (barat sungai) dan pasar Badung (sebelah timur) yang semuanya bisa menunjukkan kehidupan tradisional. Namun, untuk mengangkat aktivitas pasar menjadi bagian dari ‘heritage’ yang membanggakan dan menyamankan mungkin banyak usaha penertiban dan kebersihan yang harus dilakukan.

Deretan toko-toko di Jl Gajah Mada, terutama di Barat jembatan Tukad Badung, sungguh kumuh. Sebagian besar toko tidak dirawat pemilik atau pemakainya dengan baik. Pilar bangunan kusam, pot bunga yang berubah menjadi tempat duduk compang-camping alias ‘kepèh-kepèh’. Trotoar tidak ada, emper toko tempat jalan menjadi arena parkir sepeda motor.

Toko-toko di Timur jembatan juga banyak yang sudah tua, tak terawat, berdebu, kecuali sedikit toko baru mentereng di bagian ujung Timur dekat Bank BNI.

Pemandangan yang semrawut kian pekat karena parkir. Tanda dilarang parkir sudah jelas, tetapi masyarakat melanggarnya. Polisi juga menoleransi, mungkin karena tidak ada pilihan, tidak ada solusi. Sepeda motor pun diparkir di depan poster yang bertuliskan ‘terima kasih untuk tidak parkir di sini’ .

Beberapa pedagang kain di sisi selatan jalan ada yang memajang dagangan di trotoar, pedestrian.

Usaha mempercantik paras Gajah Mada kelihatan jauh dari tanda-tanda sukses. Walau lampu-lampu gaya ‘klasik’ dipasang, pohon bunga ditanam, semua usaha ini tampak tidak akan berhasil memberikan perubahan menyeluruh.

Jalan di bagian Timur kawasan Gajah Mada, terutama yang dibuat dengan batu-sikat, compang camping. Ada yang mengkritik karena batu-sikat tidak cocok untuk jalan karena tidak tahan dilindas-lindas kendaraan. Yang lain mencela karena sistem pengerjaan proyek tidak profesional.

Kritik datang dari anggota DPR tetapi kita jadi bertanya, mengapa wakil rakyat dan pemerintah ini tidak mengontrol kinerja kontraktor sehingga hasil proyek baik? Sayang, media massa yang ada tidak total menurunkan jurnalisnya untuk menyoroti dan melakukan investigasi proyek ‘heritage Gajah Mada’.

Siapa pun yang memperhatikan pekerja menggarap proyek di kawasan Gajah Mada pantas prihatin. Sebab, alat yang mereka gunakan, tenaga yang mereka turunkan tidak mengesankan pekerja profesional untuk menangani proyek berbiaya banyak. Sepertinya mereka berbekal cetok dan ember kecil. Bagaimana membuat luluh sempurna kalau alat kerja ala kadarnya?

Pemasangan tiang lampu juga tampak sepintas tidak dilakukan dengan olahan luluh yang kuat. Semoga saja tiang lampu itu kuat sehingga tidak tumbang karena angin atau dorongan lain.

Kalau usaha melestarikan atau memperindah kawasan Gajah Mada terus seperti sekarang, maka bisa dipastikan Denpasar akan kehilangan pesona sebagai ibu kota Provinsi Bali. Kalau kumuh dan semrawut tak berhasil disulap menjadi keindahan yang mempesona di kota tujuan wisata internasional ini, orang akan mengeluh seperti Naga Bonar: apa kata duniaaaa?

Komentar sinis mungkin lebih sering terdengar daripada decak kagum. Orang akan jarang berkata “inilah Denpasar” tapi lebih kerap bertanya “inikah Denpasar?”

***** Oleh: Darma Putra *****

DIALOG INTERAKTIF BUDPAR MELALUI ATRAKSI BUDAYA

Depbudpar Lakukan Dialog Interaktif Pelestarian Warisan Budaya Bangsa Melalui Pementasan Wayang Cengblong

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) melalui Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film (Ditjen NBSF) menyelenggarakan kegiatan dialog interaktif yang dikemas dalam bentuk pementasan seni tradisional Wayang Cengblong.

Sekditjen NBSF, Singgih Priejatmoko, dalam keterangannya di gedung Sapta Pesona Jakarta, Jumat (28/11) menyatakan, dialog interaktif yang dikemas dalam pementasan seni tradisional Wayang Cengblong itu mengambil tema Pelestarian Warisan Budaya Bangsa.

Pementasan wayang tersebut akan berlangsung semalam suntuh di Lapangan Puputan Badung, Denpasar Bali pada hari Sabtu 29 November 2008 dengan menampilkan dalang kondang Nardayana.

Kegiatan dialog interaktif melalui pementasan Wayang Cengblong kali ini sebagai salah satu upaya untuk menyebarluaskan informasi program dan kegiatan di bidang pelestarian dan pengembangan kebudayaan di tanah air. (Pusformas