Tuesday, February 24, 2009

Diving Resorts in North Sulawesi, Indonesia

Welcome to NAD Resort - the Premiere Budget Resort in Lembeh

Lembeh BungalowNAD is situated in the beautiful Lembeh Strait region of North Sulawesi. Famous the world over for its peerless macro and muck diving, the Lembeh Strait region offers more than just face to face encounters with weird and wonderful critters. Our resort is nestled inside a tranquil bay on Lembeh Island, a short boat ride from Bitung Harbour and minutes away from all the top dive sites of the region.


With ten rooms and two bungalows on site, the resort blends seamlessly into a beautiful green backdrop of native flora fronting a small beach and wonderful house reef. Our “Eco Friendly” design allows us to keep our rates low and our standards high while enabling us to show a high level of personalized service in all departments. If you are planning your first trip to Lembeh or have been here many times over the years, please join us at NAD for an experience you won’t soon forget, both below the waves and in the comfort of your new home away from home

Monday, February 23, 2009

JOGJAKARTA, Museum Kontemporer

Segera Hadir di Jogjakarta, sebuah Museum Nasional
Perpustakaan Seni Rupa Kontemporer

HINGGA saat ini belum ada satupun perpustakaan di Yogyakarta bahkan di Indonesia yang secara lengkap dan mengkhususkan diri untuk menampilkan buku-buku seni rupa kontemporer. Perpustakaan yang secara khusus akan menampung buku-buku maupun media digital tentang khasanah seni dan budaya akan segera hadir Jogja National Museum (JNM) di Jalan Amri Yahya No.1 Gampingan atau gedung eks Kampus FSR ISI Yogyakarta.

Hal tersebut setelah Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara (YYSN) yang mengelola JNM menggandeng Badan Perpustakaan Daerah Propinsi DIY untuk mewujudkan adanya perpustakaan di JNM. Sinergi tersebut tertuang dalam acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Ketua YYSN KPH Wironegoro MSc dengan Kepala Badan Perpusda Drs Ikmal Hafzi di JNM, Sabtu (5/4).

”Dari studi yang kami lakukan sebenarnya banyak masyarakat maupun seniman yang ingin mencari referensi lewat buku atau media pembelajaran tentang seni yang bisa diakses dengan mudah,” kata KPH Wironegoro usai penandatanganan naskah MoU.

Dengan keberadaan museum ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan minat baca dan pengetahuan kalangan seniman, penggiat seni dan masyarakat umum tentang seni. Bukan hanya buku, di perpustakaan ini juga akan disediakan materi dalam bentuk digital, CD, DVD dan media lainnya yang berisi tentang perkembangan seni kontemporer juga pengetahuan umum.
KPH Wironegoro mengatakan, pihak JNM sangat terbuka bagi kalangan seniman baik itu pelukis, kolektor atau masyarakat umum yang ingin mendonasikan buku, katalog pameran atau materi lainnya untuk dijadikan koleksi perpustakaan JNM. (R-1)-g

sumber : kr.co.id

LATAR BELAKANG SEJARAH TARI-TARIAN SUKU DAYAK


Asal Usul

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat yang ber-ibukota Pontianak.

Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.

[sunting] PEMBAGIAN CIRI TARI DAYAK

  • BERDASARKAN WILAYAH PENYEBARANNYA DI KALIMANTAN BARAT

Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 5 besar yakni:

  1. Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.
  2. . Ribunic / Jangkang Grop : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas,
  3. Dayak Mali, Tobakng Benua sampai Balai Bekuak Kabupaten Ketapang dan sekitarnya.
  4. Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam.
  5. Tamanic Grop: Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.


Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak di Kabupaten Ketapang, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: Linoh, Nyangai, Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan dsb. Kemudian Kapuas Hulu diantaranya:

LATAR BELAKANG TARI AJAT TEMUAI DATAI

Latar Belakang

“Ajat Temuai Datai” diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara lansung, karna terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya adalah Tari menyambut tamu, bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan / masa lampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me – ngayau, yang berarti musuh (bahasa Dayak Iban). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan menang dan membawa bukti perang berupa kepala manusia, merupakan tamu yang agung serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih !, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui tiga babak yakni: Ngiring Temuai (mengiringi tamu ataupun memandu tamu) sampai kedepan Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan tari Ajat (penyambutan). Kemudian kepala suku mengunsai beras kuning (menghamburkan beras yang dicampur kunir/beras kuning) dan membacakan pesan atau mantera sebagai syarat mengundang Senggalang burong (burung keramat/burung petuah penyampai pesan kepada Petara atau Tuhannya). Babak yang kedua yakni mancung buloh (menebaskan mandau atau parang guna memutuskan bambu), berarti bambu sengaja dibentangkan menutupi jalan masuk ke rumah panjai dan para tamu harus menebaskan mandaunya untuk memutuskan bambu tersebut sebagai simbol bebas dari rintangan yang menghalangi perjalanan tamu itu. Babak yang ketiga adalah Nijak batu (menginjakkan tumitnya menyentuh sebuah batu yang direndam didalam air yang telah dipersiapkan), sebagai simbol kuatnya tekad dan tinginya martabat tamu itu sebagai seorang pahlawan yang disegani. Air pada rendaman batu tersebut diteteskan pada kepala tamu itu sebagai simbol keras dan kuatnya semangat dari batu itu diteladani oleh pahlawan atau tamu yang disambut. Babak keempat yakni Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai), setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Burung (mengembalikan semangat perang/mengusir roh jahat).

by: John Roberto P, S.Sn (Dokumen)

Development of Tourism Products

IMG_0489.JPG (136655 bytes)

DEVELOPMENT OF TOURISM PRODUCTS

In fiscal year 1997/98, the Main National Tourism Development Plan (RIPP) was completed, as was the main Regional Main Tourism Development Plan for the provinces of Jambi, South Sumatra, South Sulawesi, Palembang, in South Sumatra; Kaliurang, Merapi and Merbabu in Central Java; Pasir Putih in East Java; Bukari in South East Sulawesi; the western part of West Java; Ratu boko in Sleman and Solo Kasunanan Palace in Central Java.

In facing the globalization era and to improve the regional and sub-regional economic endurance, a closer cooperation program in the tourism sector has also been implemented with several ASEAN countries, such as the Indonesia, Malaysia, Singapore - Growth triangle (IMS-GI), Indonesia, Malaysia, Thailand, Growth-triangle (IMT-GT) and Brunei, Indonesia, Malaysia, the Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) on marketing and promotion of tourist package programs, promoting tourist marketing between the member countries, accommodating and mobilizing private investment in the field of tourism.

In fiscal year 1997/98, the new accommodation capacity was 31,953 rooms. The number of rooms available until 1997/98 was 185,136 rooms consisting of 81,997 rooms in star-rated hotels and 103,136 rooms in non-star hotels. At the same time, the application of information technology in the field of tourism has also been continued in 47 international hotel chain networks and 16 national hotels chain networks.

The number of travel bureaus in fiscal year 1997/98 also increased to 2,631 with 721 tour leaders reached 721 and 9,365 tour guides.

TOURISM DEVELOPMENT

IMG_0489.JPG (136655 bytes)

DEVELOPMENT OF TOURISM PRODUCTS

In fiscal year 1997/98, the Main National Tourism Development Plan (RIPP) was completed, as was the main Regional Main Tourism Development Plan for the provinces of Jambi, South Sumatra, South Sulawesi, Palembang, in South Sumatra; Kaliurang, Merapi and Merbabu in Central Java; Pasir Putih in East Java; Bukari in South East Sulawesi; the western part of West Java; Ratu boko in Sleman and Solo Kasunanan Palace in Central Java.

In facing the globalization era and to improve the regional and sub-regional economic endurance, a closer cooperation program in the tourism sector has also been implemented with several ASEAN countries, such as the Indonesia, Malaysia, Singapore - Growth triangle (IMS-GI), Indonesia, Malaysia, Thailand, Growth-triangle (IMT-GT) and Brunei, Indonesia, Malaysia, the Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) on marketing and promotion of tourist package programs, promoting tourist marketing between the member countries, accommodating and mobilizing private investment in the field of tourism.

In fiscal year 1997/98, the new accommodation capacity was 31,953 rooms. The number of rooms available until 1997/98 was 185,136 rooms consisting of 81,997 rooms in star-rated hotels and 103,136 rooms in non-star hotels. At the same time, the application of information technology in the field of tourism has also been continued in 47 international hotel chain networks and 16 national hotels chain networks.

The number of travel bureaus in fiscal year 1997/98 also increased to 2,631 with 721 tour leaders reached 721 and 9,365 tour guides.

Sunday, February 22, 2009

Tourism Development in Indonesia


Tourism in Indonesia


Tourism in Indonesia is being developed through two main programs, covering tourism and tourism products. There are five supporting programs, namely' control of environmental pollution, education, training and tourism guidance; tourism research and development; tourism infrastructure development; and the supervision and development of arts and culture.

The target for tourism set in Repelita VI is 6.5 million foreign tourists with US$9 billion in foreign exchange. Meanwhile 84.2 million domestic tourists are expected to spend nine (9) trillion rupiahs. Through various activities, tourism is expected to generate 900.000 new job opportunities.



OVERSEAS TOURIST PROMOTION

Tourist promotion campaigns have been staged through Indonesia's Seven Tourism Promotion Centers (P3I) abroad, namely in Frankfurt, Los Angeles, Tokyo, Singapore, Sydney, London and Taipei. Since 1989 the Indonesia Tourism Promotion Agency (BPPI) developed new markets and improved promotion programs.

BPPI promotion efforts both at home and abroad was financed by 20% of the development tax revenue in ten tourist destinations, namely: North Sumatra, the Jakarta, West Java, Central Java, the Yogyakarta, East Java, Bali, North Sulawesi, and South Sulawesi. However, due the protracted monetary crisis which hit Indonesia the fund collected from the ten tourist destinations was only sufficient for BPPI operational cost until August 1997. To overcome this problem various marketing’s efforts had been conducted in Singapore, Australia, Japan, Taiwan, Germany, America, England, the Netherlands, Austria, and Switzerland.

In fiscal year 1997/98, an integrated promotion program was designed to increase the efficiency and effectiveness, of marketing by reexamining the role and responsibility of agencies involved in overseas tourism marketing while utilizing all related components including Indonesian delegations abroad as well as students and the foreign media.

Several important tourism events abroad in which Indonesia participated among others were: International Travel Expo, June 1997 in Hong Kong; Holiday and Travel Show, June 1997 in Sydney; World Travel Market, November 1997 in London; Diving Equipment Marketing Association (DEMA), January 1998 in Orlando, Florida; and Internationale Tourismus Borse, March 1998 in Berlin.

In fiscal year 1997/98, international tourist activities held in Indonesia, were: Krakatau Festival in Lampung; the Culture Enchantment and Folk Performances Festival in Jakarta; Maleman Sriwedari and Obral Gedhe Solo in Central Java; and International Wind Surfing Competition in West Nusa Tenggara, Bali and South East Sulawesi.

Do You Know About Tourism Promotion In Indonesia?


DOMESTIC TOURISM PROMOTION


Tourist objects and tourist attractions are being introduced to the Indonesian people to promote domestic tourism. Group tourist awareness (Pokdarwis) has been established as moving spirit for tourist development such as the improvement of tourist attractions to socialize the Seven Charms Program (Sapta Pesona) consisting of safety, cleanliness, orderliness, comfort, beauty, hospitality, and enchanting memories. Until 1997/98, there were 921 Pokdarwis throughout Indonesia, or an increase of 71.5% since 1993/94. To encourage domestic tourism, in 1997/98 the Government started to develop tours for senior citizens.

The Tourist Awareness Campaign every year adopted different themes in accordance with the national development rhythm and dynamics. In 1997, the theme was The Year of Cooperatives and Telecommunication and in 1998 the theme was: The Year of Art and Culture.

Several national tourist events have been held throughout Indonesia. In 1997/98 the events included Toba Lake Festival in North Sumatra; The Indonesian Archipelago Palace Festival in West Java; Borobudur Festival in Central Java; Bromo Festival in East Java; The Balibo Art Festival in East Timor; The Bidar Kapuas Festival in West Kalimantan; Sea Park Festival in Maluku; and the Lembah Baliem Arts and Culture Festival in Irian Jaya.

Despite the current economic crisis which has hit Indonesia since July 1997, the number of domestic tourists increased steadily. In fiscal year 1997/98 the number of domestic tourists was 120 million persons who spent 14 trillion rupiahs.